Amartya Anak Kami

Panggil dia Marty. Lengkapnya Amartya Elisa Siadari. Namanya kami ambil dari pemenang hadiah Nobel berdarah India. Marty lahir 25 Maret 1999 dan kini duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Blog ini dibuat untuk mengingatkan Papa dan Mamanya agar selalu ingat banyak sekali keindahan yang telah Tuhan berikan kepada mereka. Marty hanya salah satunya.

Wednesday, June 21, 2006

Akhirnya, Marty Bisa Naik Sepeda

Marty naik sepeda di Taman Suropati, sehabis pulang dari gereja

(satu)

Masih ingat kapan pertama kali Anda bisa naik sepeda? Mungkin ada yang sudah lupa. Tapi saya tidak. Saya bahkan masih bisa menggambarkan detailnya (lihat Sepeda dan Gereja). Pasti lah itu karena pengalaman yang mengesankan sehingga saya tak pernah bisa melupakannya. Seperti sebuah prestasi yang tiada ternilai. Bedanya, ini prestasi yang tak memerlukan tepuk tangan. Atau nilai A,B atau C dari Ibu atau Pak Guru. Sebab prestasi itu begitu nyata. Ada dan terbukti. Dari tidak bisa menjadi bisa.

Saya sebenarnya agak terlambat bisa naik sepeda. Sampai saya hampir lulus dari SD, saya belum bisa juga. Barulah ketika ada kesempatan 'mencuri-curi' kesempatan memakai sepeda para remaja yang diparkir di pinggir gereja, plus malu membayangkan anak-anak perempuan mentertawakan saya kelak bila di SMP tak bisa naik sepeda, maka dengan cara belajar sendiri dan sedikit nekad, saya akhirnya bisa mengendarai si 'kereta angin' itu. Senang rasanya.

Anak-anak yang lahir dan besar di Jakarta tentu tidak lah separah saya. Bocah perempuan anak tetangga saya, yang bahkan belum masuk TK, saya lihat sudah begitu piawainya menggenjot sepedanya di jalan raya di depan rumah kami. Edan benar. Ia sudah lihai meminggirkan sepedanya itu manakala ada kendaraan lewat. Dan sekelebat kemudian, ia ngebut lagi manakala jalanan sudah sepi.

Putri saya, Amartya Elisa Siadari, termasuk yang telat pula bisa naik sepeda, bila dibandingkan dengan kawan-kawan sebayanya. Sepeda kecilnya yang murah-meriah, dapat beli dengan harga diskon dari Carrefour Lebak Bulus Jakarta, sudah kami hadiahkan kepadanya sejak ia berulang tahun ketiga. Sebuah sepeda yang supermini dilengkapi dengan dua roda kecil penopang di ban belakang.

Sayangnya, dasar anak manja, yang tampaknya tak punya motivasi untuk segera bisa naik sepeda, akhirnya sampai ia hampir menyelesaikan kelas 1 SD-nya, ia tetap tak bisa juga mengendarai si kereta angin itu. Tiap kali kami paksa-paksa ia menaikinya, segera saja terlihat nyalinya menciut. Ia naiki sebentar lalu segera menyerah. "Udahan Ma. Aku nggak bisa nih…."

Sampai kemudian dua minggu lalu. Malam ketika saya pulang dari tempat kerja, ia dan ibunya senyum-senyum di sofa sambil menonton televisi. "Nggak usah dibilangin ya Ma?…." kata Marty, panggilan akrab putri saya itu.

Saya sudah biasa dengan jurus yang begini. Mereka pasti menyimpan sesuatu rahasia, yang sebenarnya ingin mereka rahasiakan tetapi pasti pada akhirnya salah satu dari mereka akan membocorkannya juga.

"Apaan sih?" Saya bertanya.

Ibu dan anak itu diam sambil senyam-senyum.

"Kalau nggak mau ngomong ya udah. Besok kalau Papa beli es krim, kamu nggak akan dibagi." Saya mulai mengeluarkan jurus klise para orang tua mana pun di dunia ini: mengiming-imingi anaknya sambil melontarkan ancaman.

Marty mulai menoleh kepada ibunya. Seakan ingin mengubah pendirian. Ibunya pun begitu. Seraya seolah berbisik (tetapi kedengaran) kepada Marty, Mama Marty berkata, "Kita kasih tahu aja ya? Takut besok tidak dibagi es krim…"

Saya pura-pura tidak dengar.

Ibunya akhirnya mengambil inisiatif. "Begini Pa. Marty tadi sudah bisa naik sepeda. Sudah lancar. Malah sudah ke jalan raya segala……."

Tak terkira senang hati saya. Saya bahkan merasakan mata saya sedikit berair. Akhirnya putri saya itu, putri yang saya anggap selalu manja dan agak lemah motivasinya untuk melakukan hal-hal yang ia anggap tak kan bisa ia lakukan, melewati juga bagian yang paling sulit itu. Ia sudah bisa naik sepeda!

Ibunya kemudian bercerita, sejak sepulang sekolah Marty dia paksa belajar naik sepeda. Kawan-kawan sebayanya yang lain ikut membantu tetapi kadang-kadang juga meledek dia. Sekali dua kali Marty merasa kewalahan. Tetapi kali ini ia mungkin merasa sudah terlanjur 'basah' sudah terlanjur dikerumuni kawan-kawannya dan menyaksikan ketidakbisaan dia. Lantas, mungkin, ia merasa harus membuktikan bahwa ia bisa dan harus bisa. Lalu memang akhirnya bisa.

Di jalanan baru yang sepi, Marty leluasa mempertontonkan kebolehannya

(dua)

Naik sepeda mungkin hanyalah sebuah prestasi kecil. Semua orang pasti bisa. Tapi akan halnya tentang putri saya Amartya, saya benar-benar sangat dalam mencatatnya dalam hati. Kenapa harus menunggu setelah ia berumur tujuh tahun lebih? Kenapa anak-anak lain sudah bisa naik sepeda jauh sebelum itu? Apa kiranya yang mendorong Marty sehingga ia bisa menerobos ketakutan akan gagal?

Sudah agak lama memang Mama Marty mengeluhkan keengganan putri kami itu belajar naik sepeda. Malam-malam menjelang tidur, seringkali kami menasihati dia agar tidak usah takut jatuh. Toh ketika belajar sepeda itu ia pasti akan dipegangi. Tak mungkin lah kami akan membiarkan dia terjatuh.

Perbincangan seperti itu biasanya akan berakhir dengan mengecewakan. Marty kerap kali berontak dan kemudian mendebat, manakala ia merasa dipojokkan akan ketidakmampuannya itu. Apalagi kalau mamanya atau saya mulai membanding-bandingkannya dengan kawan-kawannya. Pernah sekali waktu, entah mengutip dari sinetron mana, ia lantas berkata begini, "Jadi kalau saya tidak bisa naik sepeda, saya bukan anak Papa lagi? Begitu?" Tak jarang pula akhir dari pembicaraan itu adalah tangisnya yang penuh sedu-sedan. Sampai-sampai saya sendiri harus pula ikut sedih, menitikkan air mata dan merapatkan wajah ke bantal agar mereka berdua tak melihat kesedihan saya.

Tapi setelah itu, Marty yang manja, Marty yang sudah pula bisa sekali dua kali mendebat saya dan mamanya, tetap lah Marty yang anak-anak. Gampang sekali ia lupa akan anjuran-anjuran agar bisa naik sepeda itu. Ia tetap jadi anak-anak yang tidak terlalu perduli apakah ia mampu atau tidak, naik sepeda. Toh, tidak ada nilainya. Toh Pak Guru dan Bu Guru tak kan memarahinya walau ia tak bisa naik sepeda. Begitu barangkali pikirannya.

Lalu pada suatu saat, ketika kami dalam perjalanan pulang dari rumah Mertua, di tengah jalan mamanya Marty merasa lapar dan meminta agar kami menyinggahkan diri mencari warung ikan bakar di pinggir jalan. Kata Mama Marty, sudah lama kami tak makan di luar. Dan saya pun mengiyakan, karena saya juga lapar. Marty yang duduk di jok belakang ternyata sudah tertidur.

Ketika kami tiba di warung ikan bakar itu, kami membangunkan Marty. Lama sekali baru ia membukakan matanya. Dan ketika ia bangun, ia menangis. Mama Marty membujuknya sambil mengingatkan Marty juga perlu makan karena sudah sedari siang ia belum makan. Tetapi Marty menolak. Ia berontak. "Aku mau pulang. Kita makan di rumah saja. Dibungkus saja," kata dia berkali-kali. Saya kemudian menggendongnya ke warung itu, tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. Kami malu. Mama Marty merah mukanya dilihat orang sewarung. Saya juga begitu dan memutuskan untuk kembali ke mobil saja. Kami pulang.

Nah, mungkin karena saya sudah terlalu capai, lapar pula, marah lah saya kepada putri semata wayang saya. Tak terkira-kira kemarahan saya. Saya kaakan bahwa makin lama Marty makin bandel. Makin manja. Makin seperti tingkah laku artis-artis di sinetron. Cengeng. Tidak bisa dinasihati. Malas. Kalau apa-apa minta dibantuin. Kalau makan minta disuapin. Mandi minta dimandiin. Bangun pagi sudah sering melupakan tugas membukakan gordyn jendela dst…dst

Sebagai kelanjutan dari kemarahan saya itu, saya juga bikin aturan besi. Mulai besok tak boleh ada orang yang tidak mandi sendiri. Tidak boleh ada orang yang tidak makan sendiri. Kalau mau ke sekolah, harus cari baju sendiri, pakai sendiri. Dan yang paling pokok, tak boleh nonton televisi yang bukan untuk anak-anak. Dan sinetron, sinetron apa pun itu, tak boleh ditonton.

Mama Marty ikut nimbrung. Kata dia, Marty sudah mulai nakal, tidak seperti anak yang sudah mau naik ke kelas 2 SD. Sudah ikut-ikutan seperti anak-anak orang kaya di televisi. Yang semua-semua diladeni pembantu, dst dst.

Saya mendengar Marty menahan tangisnya di belakang. Saya sebenarnya sedih juga. Tapi sudah terlanjur nih…..

Di rumah, ketika kami tiba, saya segera minta permisi kepada Mama Marty. Saya ngebut ke tempat orang menjual pisang goreng Pontianak di bilangan Bumi Serpong Damai (BSD) dan setelah menunggu di antrian yang cukup panjang, saya kembali ke rumah. Saya disambut dengan pandangan aneh dari putri saya itu. Tetapi tampaknya ia senang. Ia menikmati pisang goreng itu. Begitu juga ibunya. Lalu saya menciumi anak saya itu. Membisikkan maaf di telinganya dan berkata bahwa kalau pun saya marah, itu karena saya menyayanginya.

Marty memeluk saya, menjewer muka saya seperti kebiasaannya kala bermanja-manja. Lalu berkata, "Nakal-nakal begini, aku tetap anak Papa, kan?"

Di tanah liat yang lengket, ia pun sudah percaya diri mengendarai sepedanya

(tiga)

Saya kira peristiwa malam itu lah salah satu pemicu motivasi Marty untuk bisa naik sepeda. Kritik saya dan mamanya tentang kemanjaannya, tentang ketidakmandiriannya, agaknya membekas dalam hatinya. Dan, dugaan saya, ia juga mengamininya. Dan beberapa hari kemudian, ia meminta saya untuk memperbaiki 'sepeda tua'nya itu. Kata dia, ia ingin belajar naik sepeda. Agar bisa seperti kawan-kawannya. Ia juga berkata ia sudah jadi anak besar. Bukan anak kecil lagi.

Saya iyakan. Saya coba memperbaiki sepedanya. Setelah saya utak-atik tak makin bagus juga, akhirnya kami berdua membawanya ke bengkel sepeda. Di sana sepeda itu ditukangi, termasuk dengan mengganti kedua bannya. Sedangkan roda kecil penopang ban belakang itu dilepas.

Semula saya tidak terlalu berharap Marty akan antusias belajar sepeda. Sudah seringkali dia meminta saya memperbaiki sepedanya, tapi itu hanya karena ikut-ikutan temannya belaka. Bukan karena ingin ia pakai. Sudah terlalu sering ia lebih besar semangat daripada realisasinya.

Tapi ternyata ia serius. Bukan saya sendiri yang melihatnya, tetapi mamanya. Menurut Mama Marty, setelah sepeda itu diperbaiki, hampir setiap hari sepulang sekolah Marty meminta Mama Marty mengajarinya naik sepeda. Dari siang sampai sore. Namun, Marty selalu melarang ibunya untuk memberitahu saya bahwa ia belajar naik sepeda. Setiap kali malam sudah tiba, dan ia menduga-duga saya akan segera tiba di rumah, ia segera menyimpan sepedanya. Konon, Marty ingin memberi kejutan. Ia ingin saya lah orang terakhir yang tahu bahwa ia bisa naik sepeda.

Dan, akhirnya, Marty memang bisa naik sepeda. Hanya beberapa hari saja sebelum ia naik ke kelas 2 SD. Sesuatu yang tampaknya begitu membesarkan hatinya, dan tentu hati saya juga. Keesokan harinya setelah Mama Marty memberitahu saya bahwa Marty sudah bisa baik sepeda, ia membangunkan saya pagi-pagi sekali. Memaksa saya melihatnya memamerkan kepandaiannya itu. Dan saya merasa tersanjung. Jadi ayah paling happy di dunia.

Tak cukup hanya disitu kegembiraan Marty akan prestasinya itu. Sampai-sampai ketika kami pada hari Minggu lalu berangkat beribadah di GKI Kwitang di Jakarta, ia mewanti-wanti agar sepedanya dibawa. Sebab ia ingin bersepeda di Taman Suropati, sambil makan ketoprak dan es doger. Sorenya di perumahan kami, lagi-lagi ia memaksa saya untuk menemaninya mencari tempat yang sepi agar leluasa menggenjot sepedanya. Dan saya dengan senang hati menemaninya dan menyaksikannya melampiaskan keberhasilannya itu di lapangan di depan rumah-rumah kosong yang baru dibangun. Lagi-lagi saya disadarkan. Betapa anak saya Marty itu, sudah bukan anak kecil lagi. Sebentar lagi, ia mungkin akan 'menodong' ayahnya ini untuk membelikannya sepeda yang besar…..

Ini foto Marty dalam pakaian adat Simalungun yang 'asal jadi/tidak pakai sanggul. Fotonya ketika naik sepeda, sabar. Nanti ya? Harus didownload dulu

(empat)

Orang Batak mengenal kata Marmalu. Dari kata malu yang artinya sama dengan kata serupa dalam Bahasa Indonesia, yakni malu. Dalam pengertian harfiah, Marmalu bisa berarti berusaha sekuat tenaga supaya berhasil. Dalam arti yang lebih luas, Marmalu juga berarti tahu diri, tahu pada ketidakmampuan kita, malu akan keterbelakangan kita dan oleh karena itu harus berusaha sungguh-sungguh supaya bisa, supaya berhasil, supaya mampu.

Mungkin karena kemarahan saya dan ibunya, tentang kemanjaannya dan tentang kecengengannya, Marty akhirnya Marmalu. Mungkin ia merasa, memang sudah saatnya ia menunjukkan bahwa ia tidak seperti anggapan Papa dan Mamanya. Dan akhirnya ia membuktikannya.

Sebuah kebahagiaan yang tak ternilai harganya.

21 Juni 2006
© Eben Ezer Siadari