Amartya Anak Kami

Panggil dia Marty. Lengkapnya Amartya Elisa Siadari. Namanya kami ambil dari pemenang hadiah Nobel berdarah India. Marty lahir 25 Maret 1999 dan kini duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Blog ini dibuat untuk mengingatkan Papa dan Mamanya agar selalu ingat banyak sekali keindahan yang telah Tuhan berikan kepada mereka. Marty hanya salah satunya.

Monday, November 09, 2009

Beda Amartya dan Papanya Bermain Hula Hup

Kalau Amartya bermain hula hup, begini nih:





Dan kalau Papanya, begini:


Wednesday, June 21, 2006

Akhirnya, Marty Bisa Naik Sepeda

Marty naik sepeda di Taman Suropati, sehabis pulang dari gereja

(satu)

Masih ingat kapan pertama kali Anda bisa naik sepeda? Mungkin ada yang sudah lupa. Tapi saya tidak. Saya bahkan masih bisa menggambarkan detailnya (lihat Sepeda dan Gereja). Pasti lah itu karena pengalaman yang mengesankan sehingga saya tak pernah bisa melupakannya. Seperti sebuah prestasi yang tiada ternilai. Bedanya, ini prestasi yang tak memerlukan tepuk tangan. Atau nilai A,B atau C dari Ibu atau Pak Guru. Sebab prestasi itu begitu nyata. Ada dan terbukti. Dari tidak bisa menjadi bisa.

Saya sebenarnya agak terlambat bisa naik sepeda. Sampai saya hampir lulus dari SD, saya belum bisa juga. Barulah ketika ada kesempatan 'mencuri-curi' kesempatan memakai sepeda para remaja yang diparkir di pinggir gereja, plus malu membayangkan anak-anak perempuan mentertawakan saya kelak bila di SMP tak bisa naik sepeda, maka dengan cara belajar sendiri dan sedikit nekad, saya akhirnya bisa mengendarai si 'kereta angin' itu. Senang rasanya.

Anak-anak yang lahir dan besar di Jakarta tentu tidak lah separah saya. Bocah perempuan anak tetangga saya, yang bahkan belum masuk TK, saya lihat sudah begitu piawainya menggenjot sepedanya di jalan raya di depan rumah kami. Edan benar. Ia sudah lihai meminggirkan sepedanya itu manakala ada kendaraan lewat. Dan sekelebat kemudian, ia ngebut lagi manakala jalanan sudah sepi.

Putri saya, Amartya Elisa Siadari, termasuk yang telat pula bisa naik sepeda, bila dibandingkan dengan kawan-kawan sebayanya. Sepeda kecilnya yang murah-meriah, dapat beli dengan harga diskon dari Carrefour Lebak Bulus Jakarta, sudah kami hadiahkan kepadanya sejak ia berulang tahun ketiga. Sebuah sepeda yang supermini dilengkapi dengan dua roda kecil penopang di ban belakang.

Sayangnya, dasar anak manja, yang tampaknya tak punya motivasi untuk segera bisa naik sepeda, akhirnya sampai ia hampir menyelesaikan kelas 1 SD-nya, ia tetap tak bisa juga mengendarai si kereta angin itu. Tiap kali kami paksa-paksa ia menaikinya, segera saja terlihat nyalinya menciut. Ia naiki sebentar lalu segera menyerah. "Udahan Ma. Aku nggak bisa nih…."

Sampai kemudian dua minggu lalu. Malam ketika saya pulang dari tempat kerja, ia dan ibunya senyum-senyum di sofa sambil menonton televisi. "Nggak usah dibilangin ya Ma?…." kata Marty, panggilan akrab putri saya itu.

Saya sudah biasa dengan jurus yang begini. Mereka pasti menyimpan sesuatu rahasia, yang sebenarnya ingin mereka rahasiakan tetapi pasti pada akhirnya salah satu dari mereka akan membocorkannya juga.

"Apaan sih?" Saya bertanya.

Ibu dan anak itu diam sambil senyam-senyum.

"Kalau nggak mau ngomong ya udah. Besok kalau Papa beli es krim, kamu nggak akan dibagi." Saya mulai mengeluarkan jurus klise para orang tua mana pun di dunia ini: mengiming-imingi anaknya sambil melontarkan ancaman.

Marty mulai menoleh kepada ibunya. Seakan ingin mengubah pendirian. Ibunya pun begitu. Seraya seolah berbisik (tetapi kedengaran) kepada Marty, Mama Marty berkata, "Kita kasih tahu aja ya? Takut besok tidak dibagi es krim…"

Saya pura-pura tidak dengar.

Ibunya akhirnya mengambil inisiatif. "Begini Pa. Marty tadi sudah bisa naik sepeda. Sudah lancar. Malah sudah ke jalan raya segala……."

Tak terkira senang hati saya. Saya bahkan merasakan mata saya sedikit berair. Akhirnya putri saya itu, putri yang saya anggap selalu manja dan agak lemah motivasinya untuk melakukan hal-hal yang ia anggap tak kan bisa ia lakukan, melewati juga bagian yang paling sulit itu. Ia sudah bisa naik sepeda!

Ibunya kemudian bercerita, sejak sepulang sekolah Marty dia paksa belajar naik sepeda. Kawan-kawan sebayanya yang lain ikut membantu tetapi kadang-kadang juga meledek dia. Sekali dua kali Marty merasa kewalahan. Tetapi kali ini ia mungkin merasa sudah terlanjur 'basah' sudah terlanjur dikerumuni kawan-kawannya dan menyaksikan ketidakbisaan dia. Lantas, mungkin, ia merasa harus membuktikan bahwa ia bisa dan harus bisa. Lalu memang akhirnya bisa.

Di jalanan baru yang sepi, Marty leluasa mempertontonkan kebolehannya

(dua)

Naik sepeda mungkin hanyalah sebuah prestasi kecil. Semua orang pasti bisa. Tapi akan halnya tentang putri saya Amartya, saya benar-benar sangat dalam mencatatnya dalam hati. Kenapa harus menunggu setelah ia berumur tujuh tahun lebih? Kenapa anak-anak lain sudah bisa naik sepeda jauh sebelum itu? Apa kiranya yang mendorong Marty sehingga ia bisa menerobos ketakutan akan gagal?

Sudah agak lama memang Mama Marty mengeluhkan keengganan putri kami itu belajar naik sepeda. Malam-malam menjelang tidur, seringkali kami menasihati dia agar tidak usah takut jatuh. Toh ketika belajar sepeda itu ia pasti akan dipegangi. Tak mungkin lah kami akan membiarkan dia terjatuh.

Perbincangan seperti itu biasanya akan berakhir dengan mengecewakan. Marty kerap kali berontak dan kemudian mendebat, manakala ia merasa dipojokkan akan ketidakmampuannya itu. Apalagi kalau mamanya atau saya mulai membanding-bandingkannya dengan kawan-kawannya. Pernah sekali waktu, entah mengutip dari sinetron mana, ia lantas berkata begini, "Jadi kalau saya tidak bisa naik sepeda, saya bukan anak Papa lagi? Begitu?" Tak jarang pula akhir dari pembicaraan itu adalah tangisnya yang penuh sedu-sedan. Sampai-sampai saya sendiri harus pula ikut sedih, menitikkan air mata dan merapatkan wajah ke bantal agar mereka berdua tak melihat kesedihan saya.

Tapi setelah itu, Marty yang manja, Marty yang sudah pula bisa sekali dua kali mendebat saya dan mamanya, tetap lah Marty yang anak-anak. Gampang sekali ia lupa akan anjuran-anjuran agar bisa naik sepeda itu. Ia tetap jadi anak-anak yang tidak terlalu perduli apakah ia mampu atau tidak, naik sepeda. Toh, tidak ada nilainya. Toh Pak Guru dan Bu Guru tak kan memarahinya walau ia tak bisa naik sepeda. Begitu barangkali pikirannya.

Lalu pada suatu saat, ketika kami dalam perjalanan pulang dari rumah Mertua, di tengah jalan mamanya Marty merasa lapar dan meminta agar kami menyinggahkan diri mencari warung ikan bakar di pinggir jalan. Kata Mama Marty, sudah lama kami tak makan di luar. Dan saya pun mengiyakan, karena saya juga lapar. Marty yang duduk di jok belakang ternyata sudah tertidur.

Ketika kami tiba di warung ikan bakar itu, kami membangunkan Marty. Lama sekali baru ia membukakan matanya. Dan ketika ia bangun, ia menangis. Mama Marty membujuknya sambil mengingatkan Marty juga perlu makan karena sudah sedari siang ia belum makan. Tetapi Marty menolak. Ia berontak. "Aku mau pulang. Kita makan di rumah saja. Dibungkus saja," kata dia berkali-kali. Saya kemudian menggendongnya ke warung itu, tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. Kami malu. Mama Marty merah mukanya dilihat orang sewarung. Saya juga begitu dan memutuskan untuk kembali ke mobil saja. Kami pulang.

Nah, mungkin karena saya sudah terlalu capai, lapar pula, marah lah saya kepada putri semata wayang saya. Tak terkira-kira kemarahan saya. Saya kaakan bahwa makin lama Marty makin bandel. Makin manja. Makin seperti tingkah laku artis-artis di sinetron. Cengeng. Tidak bisa dinasihati. Malas. Kalau apa-apa minta dibantuin. Kalau makan minta disuapin. Mandi minta dimandiin. Bangun pagi sudah sering melupakan tugas membukakan gordyn jendela dst…dst

Sebagai kelanjutan dari kemarahan saya itu, saya juga bikin aturan besi. Mulai besok tak boleh ada orang yang tidak mandi sendiri. Tidak boleh ada orang yang tidak makan sendiri. Kalau mau ke sekolah, harus cari baju sendiri, pakai sendiri. Dan yang paling pokok, tak boleh nonton televisi yang bukan untuk anak-anak. Dan sinetron, sinetron apa pun itu, tak boleh ditonton.

Mama Marty ikut nimbrung. Kata dia, Marty sudah mulai nakal, tidak seperti anak yang sudah mau naik ke kelas 2 SD. Sudah ikut-ikutan seperti anak-anak orang kaya di televisi. Yang semua-semua diladeni pembantu, dst dst.

Saya mendengar Marty menahan tangisnya di belakang. Saya sebenarnya sedih juga. Tapi sudah terlanjur nih…..

Di rumah, ketika kami tiba, saya segera minta permisi kepada Mama Marty. Saya ngebut ke tempat orang menjual pisang goreng Pontianak di bilangan Bumi Serpong Damai (BSD) dan setelah menunggu di antrian yang cukup panjang, saya kembali ke rumah. Saya disambut dengan pandangan aneh dari putri saya itu. Tetapi tampaknya ia senang. Ia menikmati pisang goreng itu. Begitu juga ibunya. Lalu saya menciumi anak saya itu. Membisikkan maaf di telinganya dan berkata bahwa kalau pun saya marah, itu karena saya menyayanginya.

Marty memeluk saya, menjewer muka saya seperti kebiasaannya kala bermanja-manja. Lalu berkata, "Nakal-nakal begini, aku tetap anak Papa, kan?"

Di tanah liat yang lengket, ia pun sudah percaya diri mengendarai sepedanya

(tiga)

Saya kira peristiwa malam itu lah salah satu pemicu motivasi Marty untuk bisa naik sepeda. Kritik saya dan mamanya tentang kemanjaannya, tentang ketidakmandiriannya, agaknya membekas dalam hatinya. Dan, dugaan saya, ia juga mengamininya. Dan beberapa hari kemudian, ia meminta saya untuk memperbaiki 'sepeda tua'nya itu. Kata dia, ia ingin belajar naik sepeda. Agar bisa seperti kawan-kawannya. Ia juga berkata ia sudah jadi anak besar. Bukan anak kecil lagi.

Saya iyakan. Saya coba memperbaiki sepedanya. Setelah saya utak-atik tak makin bagus juga, akhirnya kami berdua membawanya ke bengkel sepeda. Di sana sepeda itu ditukangi, termasuk dengan mengganti kedua bannya. Sedangkan roda kecil penopang ban belakang itu dilepas.

Semula saya tidak terlalu berharap Marty akan antusias belajar sepeda. Sudah seringkali dia meminta saya memperbaiki sepedanya, tapi itu hanya karena ikut-ikutan temannya belaka. Bukan karena ingin ia pakai. Sudah terlalu sering ia lebih besar semangat daripada realisasinya.

Tapi ternyata ia serius. Bukan saya sendiri yang melihatnya, tetapi mamanya. Menurut Mama Marty, setelah sepeda itu diperbaiki, hampir setiap hari sepulang sekolah Marty meminta Mama Marty mengajarinya naik sepeda. Dari siang sampai sore. Namun, Marty selalu melarang ibunya untuk memberitahu saya bahwa ia belajar naik sepeda. Setiap kali malam sudah tiba, dan ia menduga-duga saya akan segera tiba di rumah, ia segera menyimpan sepedanya. Konon, Marty ingin memberi kejutan. Ia ingin saya lah orang terakhir yang tahu bahwa ia bisa naik sepeda.

Dan, akhirnya, Marty memang bisa naik sepeda. Hanya beberapa hari saja sebelum ia naik ke kelas 2 SD. Sesuatu yang tampaknya begitu membesarkan hatinya, dan tentu hati saya juga. Keesokan harinya setelah Mama Marty memberitahu saya bahwa Marty sudah bisa baik sepeda, ia membangunkan saya pagi-pagi sekali. Memaksa saya melihatnya memamerkan kepandaiannya itu. Dan saya merasa tersanjung. Jadi ayah paling happy di dunia.

Tak cukup hanya disitu kegembiraan Marty akan prestasinya itu. Sampai-sampai ketika kami pada hari Minggu lalu berangkat beribadah di GKI Kwitang di Jakarta, ia mewanti-wanti agar sepedanya dibawa. Sebab ia ingin bersepeda di Taman Suropati, sambil makan ketoprak dan es doger. Sorenya di perumahan kami, lagi-lagi ia memaksa saya untuk menemaninya mencari tempat yang sepi agar leluasa menggenjot sepedanya. Dan saya dengan senang hati menemaninya dan menyaksikannya melampiaskan keberhasilannya itu di lapangan di depan rumah-rumah kosong yang baru dibangun. Lagi-lagi saya disadarkan. Betapa anak saya Marty itu, sudah bukan anak kecil lagi. Sebentar lagi, ia mungkin akan 'menodong' ayahnya ini untuk membelikannya sepeda yang besar…..

Ini foto Marty dalam pakaian adat Simalungun yang 'asal jadi/tidak pakai sanggul. Fotonya ketika naik sepeda, sabar. Nanti ya? Harus didownload dulu

(empat)

Orang Batak mengenal kata Marmalu. Dari kata malu yang artinya sama dengan kata serupa dalam Bahasa Indonesia, yakni malu. Dalam pengertian harfiah, Marmalu bisa berarti berusaha sekuat tenaga supaya berhasil. Dalam arti yang lebih luas, Marmalu juga berarti tahu diri, tahu pada ketidakmampuan kita, malu akan keterbelakangan kita dan oleh karena itu harus berusaha sungguh-sungguh supaya bisa, supaya berhasil, supaya mampu.

Mungkin karena kemarahan saya dan ibunya, tentang kemanjaannya dan tentang kecengengannya, Marty akhirnya Marmalu. Mungkin ia merasa, memang sudah saatnya ia menunjukkan bahwa ia tidak seperti anggapan Papa dan Mamanya. Dan akhirnya ia membuktikannya.

Sebuah kebahagiaan yang tak ternilai harganya.

21 Juni 2006
© Eben Ezer Siadari

Tuesday, April 18, 2006

Bonus Kala Sakit



Seminggu setelah ulang tahunnya, Marty jatuh sakit. Batuk, demam dan radang tenggorokan. Wadduh, bikin saya, papanya, senewen. Awalnya saya anggap demam biasa. Dan Actifed biasanya manjur. Tetapi panasnya tak turun2 juga. Alhasil kami membawanya ke dokter. Pertama ke dokter di sebuah poliklinik. Dan ia diberikan obat. Sekaligus dianjurkan periksa darah. Tapi karena itu hari Sabtu, labnya tutup. Maka kami disarankan datang hari Senin.

Tapi keesokan harinya, panas Marty tak kunjung turun. Akhirnya kami berkeliling kompleks mencari dokter. Pertama ke dokter Silvy, yang ada di kompleks kami. Tutup. lalu ke dokter Yuli, di kompleks Bukit Nusa Indah. Eh, kliling2 di kompleks itu tak ketemu juga. Akhirnya kami nekad membawa Marty ke Rumah Sakit Pondok Indah. Kami sudah membawa persediaan pakaian Marty. Kami menduga ia akan dirawat.

Di Rumah Sakit itu Marty kemudian dibaringkan di UGD dan diperiksa darahnya. Aneh, dokter tersenyum dan berkata, Marty tidak apa-apa. Hasil pemeriksaan bagus. Tidak ada gejala DBD. Dan lain2 yang kami khawatirkan.

Mama Marty: Tapi DOk, kok panasnya nggak turun2?
Dokter: Itu karena radang tenggorokannya. Sabar saja
Mama Marty: Sudah dua hari dia nggak masuk sekolah dok.
Dokter: Emang begitu.

Marty dan saya, tersenyum mendengar dialog itu. Marty yang kelihatan lemah, tapi disambar oleh udara sejuk di rumah sakit itu, senyum-senyum saja ketika saya foto (Lihat foto). Dan ketika itulah Marty bergumam, "Pa, aku lapar."

Oke, saya berkata. Sambil pulang, kita cari makanan di Pondok Indah Mall.

"YEEEEEES" Saya mendengar Marty berteriak. Gila. Saya kaget. Sialan. Ini anak sudah sakit, masih juga pengen jalan2 di mall.

Di mall itu kami singgah sebentar di Gramedia, kemudian nongkrong di Bakmi GM.

Pulangnya, kembali Marty terbaring di tempat tidur. Dengan kemanjaannya.

Seminggu lebih dia begitu. Tidak sekolah. Dan setelah akhirnya kami membawanya ke dokter Yuli (yang alamatnya kemudian ketemu oleh mamanya Marty), ia sembuh secara berangsur-angsur.

Ada bonus kala dia sakit. Ketika ibunya mengambil hasil rapor mid semester, Marty ternyata menduduki ranking ketiga. Sungguh ini kejutan. Sampai2 mamanya Marty tak menunggu saya pulang untuk memberitahukannya. Di telepon ia bicara tergugup-gugup. Soalnya, dia dan saya memang sudah rada rela kalau Marty tak dapat ranking pun kali ini. Sebab selama tahun ini Marty sering tidak masuk oleh urusan keluarga kami yang tidak ia tinggalkan. Ia juga kelihatan kelelahan tiap kali pulang sekolah. Dan kami tidak memaksa.

Tapi ini lah bonus kala sakit. Asyik. Dan seperti biasa, saya selalu bilang kepada Marty. Bukan ranking yang ayahnya butuhkan. Tetapi ketekunan dan sifat pantang menyerahlah yang paling utama. Bahwa hasilnya baik, setengah baik atau bahkan buruk, saya sudah akan senang melihat putri saya itu berusaha sekuat tenaganya.

(C) Eben Ezer Siadari) 18 April 2006

Monday, March 27, 2006

Marty 7 Tahun

Marty berenang, pada Sabtu,18 Maret. Foto2 ultahnya belum sempat di upload. Sabar ya?
Sabtu kemarin,25 Maret, Marty genap berusia 7 tahun. Dan kami merayakan ulang tahunnya itu di rumah. Undangan yang ia siapkan 35. Terdiri dari anak-anak sebayanya di lingkungan rumah kami dan kawan-kawan sekelasnya yang tinggalnya juga tidak terlalu jauh dari kediaman kami.

Perayaan ulang tahun itu berjalan mulus, meskipun saya deg-degan. Sebab, pada hari itu, mertua saya kambuh sakitnya. Kami sudah was-was, apakah kondisi ibu akan makin parah.

Dalam kegalauan seperti itu, Irna, ibunya Marty, masih pula harus memesan paket makanan dari Iko Bento. Seharusnya, agar mendapat diskon, pesanan dilakukan seminggu sebelumnya. Tapi ya sudah lah. Pokoknya, perayaan harus berlangsung hari ini, walau kami harus membayar makanan dengan harga normal.

Ribet sebenarnya. Acara ulang tahun itu dijadwalkan pukul 16:00. Tapi sampai pukul 12:00 Ibu mertua saya, yang kami jemput dari kediamannya di Pasar Minggu dan kemudian kami baringkan di kamar, tetap masih lemah dan tensinya tinggi. Saya segera ngebut ke dokter Silvi, dokter terdekat di kompleks kami. Ia sedang bersiap berangkat bersama suaminya. Tetapi ia batalkan. Dokter berjilbab yang ramah itu kemudian memeriksa ibu mertua saya. Ia tak mengkhawatirkannya. Cuma ia ingin agar ibu mertua diperiksa kadar gula sewaktunya. Sekali lagi, saya pergi ke klinik sekaligus lab di dekat Ciputat, dan membawa petugasnya ke rumah.

Alhasil. Pukul 13:30 semua beres, walau ibu mertua masih tetap lemah. Irna memberi perintah agar saya mengantarkan Marty les piano. Setelah itu, ambil
paket makanan di Iko Bento BSD. Jangan lupa, membeli pampers buat orang dewasa di Carrefour. Wah, ribet.

Semua ternyata berjalan baik. Saya dan Marty tiba di rumah kembali pukul 15:35. Kawan-kawannya sudah menunggu.

Pukul 16:00 acara ulang tahun itu mulai. Sialan, lagi-lagi Irna meminta saya membawakan acara. Wah, saya cuma bisa meniru-niru gaya Kak Seto kala membawakan acara anak-anak. (Foto-fotonya ada. Cuma karena tidak pakai kamera digital, harus discan dulu. Sabar ya?) Juga saya memainkan piano. Sekali lagi dengan bakat alam. Hanya bisa bermain dengan nada dasar C, dengan accord yang….yah… tak terlalu mengecewakan. Buktinya anak-anak bisa saya iringi menyanyikan Panjang Umurnya, Lihat Kebunku, bahkan lagunya Peter Pan, Dan Mungkin Bila Nanti, pun saya babat tuntas. Sampai-sampai kawan saya yang terlambat datang, bertanya, “Tadi, siapa yang main piano?”. Hehehe, belum tau dia…

Marty gembira sekali hari itu. Setelah berdoa, ia memotong kue ulang tahunnya. Tiap orang yang datang menyalaminya, ia sambut dengan senyuman.
Pukul 17:30, acara selesai. Dan kami segera bergegas membawa ibu mertua ke Rumah Sakit Tria Dipa, di Kalibata. Terimakasih Tuhan. Ternyata dokter menyimpulkan tidak apa-apa. Ibu perlu istirahat dan pikiran yang tenang. Kami membawanya pulang lagi.

Begitulah. Ketika saya menulis catatan ini, Ibu Mertua sudah agak pulih. Sudah bisa ketawa dan ‘marah-marah’ lagi.

Dan kini Marty sudah 7 tahun. Ia sudah bisa meledek saya. Menggurui saya. Semisal, setiap kali saya lupa mematikan lampu kala mau tidur, ia segera menghardik, “Papa, hemat listrik dong.”

Sekarang saya tahu, bagaimana rasanya punya anak perempuan yang bawel.
Mat ulang tahun ya Nak!

27 Maret 2006
© Eben Ezer Siadari

Monday, December 12, 2005

Sore-sore Hari Minggu




Kalau sore, hawa panas di Ciputat terasa menyiksa. Maka Mama Marty suka melawan panas itu dengan bermain-main 'air' menyiram bunga. Beginilah aksinya. Fotonya diambil sore-sore pada hari Minggu. Papa Marty jadi tukang foto. Marty bermain di rumah tetangga. Rumputnya sebenarnya sudah panjang. Perlu dibabat rapih. Tapi, yah, nunggu ada waktu dulu.

Tuesday, December 06, 2005

Jeremy, anak Namborunya Marty



Jeremy Panjaitan adalah anak namboru (adik perempuan Papa) Marty. Umurnya setahun lebih muda, tetapi badannya bongsor bangat. Kalau makan, nggak bisa berenti. Kesenangannya adalah kerupuk kacang yang bulat-bulat itu lho… Foto ini diambil pada perayaan pernikahan nambor Marty yang lain. Namanya Emilia Eleanor. Namboru itu menikah dengan Makkela William, orang Belanda. Di pesta itu, Marty dan Jeremy memuaskan hobinya minum es krim.

Menginterpusi Papanya yang Lagi Kerja



Salah satu cara Marty untuk menghentikan keasyikan Papanya di belakang komputer adalah 'mengakuisisi' laptop Papanya untuk bermain game. Dan, untuk hal ini, Marty dibacking sepenuhnya oleh Mamanya. Seperti di foto ini. Mereka menguasai laptop itu sepenuhnya, dan 'mengusir' Papanya pindah ke lain kursi. Akibatnya, Papanya cuma bisa 'ngambek' dan mengambil foto secara serampangan. Hasilnya adalah foto yang seperti di di guncang badai.

Marty dan piano



Mama dan Papa Marty punya 'dendam' yang tak pernah kesampaian. Dua-duanya waktu kecil pengen banget bisa main musik, terutama piano. Dua-duanya tak pernah bisa. Maka dengan utang sana-sini, Marty dibelikan piano. Dia juga ikut les piano. Marty belum lancar-lancar banget, tapi, yah, sudah bisa lah memainkan One Little Indian, kalau dia lagi mood. Seperti di foto ini, sebelum ia berangkat sekolah.

Lidya, Adik Baru Marty







Amartya kini punya adik baru. Namanya Lidya Primasari Siadari. Sayang, Marty belum pernah bertemu muka dengan Lidya. Soalnya, Lidya tinggal di Medan. Lidya adalah putri sulung dari Bapaangginya Marty, yakni Eksaudi Siadari. Ibu Lidya adalah Inanganggi Hotma boru Purba.

Dulu semasa masih bujangan Bapaanggi Eksa sempat bekerja di Jakarta. Dia tinggal di rumah Marty. Itu sebabnya, bapaanggi memanjakan Marty. Termasuk dengan membelikan Silver Queen dan es krim Walls. Kini Bapaanggi Eksa tentu sudah punya Lidya untuk dimanjakan. Bapaanggi Eksa bekerja di Banda Aceh, mengurusi pembangunan rumah bagi korban gempa tsunami. Sekali sebulan dia pulang ke Medan. Foto ini dikirimkannya baru-baru ini.

Lidya lahir di Medan tanggal 16 Juli 2005. Dengan begitu, Lidya lahir di bulan yang sama dengan papanya (23 Juli) dan papanya Marty (27 Juli). Tapi bintangnya beda. Lidya berbintang Cancer, sementara papanya Lidya dan papa Marty, Leo.

Sekarang kalau kebetulan semua keluarga besar oppung di Sidamanik berkumpul, sudah ada empat orang cucunya yang bisa mengganggu tidur oppung. Marty, cucu paling sulung. Lalu Jeremy Panjaitan dan Jessica Panjaitan (ini putra dan putri dari namboru Early Siadari, adik Papa Marty nomor tiga) dan Lidya. Rame deh.

Tuesday, November 29, 2005

Senyum Mayoritas


Di rumah kami yang mungil, Marty dan Mamanya adalah penghuni mayoritas, dilihat dari jenis kelamin. Papanya selalu kalah kalau voting. Dan, ini lah salah satu bentuk senyum kemenangan kaum mayoritas itu.



Mereka berdua selalu menang dalam hal apa saja. Misalnya, dalam menentukan posisi tidur. Siapa yang tidur di tengah. Dalam menentukan guling warna apa untuk siapa. Juga manakala siapa yang bakal melipat selimut pagi hari dan membukakan jendela. Tetapi mayoritas itu kadang-kadang terpecah juga manakala Papa Marty bisa membuat provokasi. Misalnya, kala Mama dan Marty berantem kecil-kecilan, karena, Marty agak malas mengerjakan PR, Papa suka mengambil kesempatan memenangkan suara. Hahahahaha, senyum semacam ini biasanya lenyap.

Vila Dago Tol, November 2005

Air Mancur Tempat Bermain


Ini adalah air mancur di Taman Suropati. Waktu dulu masih balita, Marty sering bermain diajak ke sini sehabis mengantar ibunya bekerja. Ia senang mengejar burung dara di sana. Sekarang ibunya sudah benar-benar ibu rumah tangga. Ia tak perlu lagi bermain-main di tempat ini untuk sekadar melipur tangisnya ditinggal ibunya. Tapi dasar anak kecil. Ia masih saja senang 'menodong' papa dan mamanya singgah di tempat ini, sehabis pulang ibadah dari GKI Kwitang. Makanan favoritnya di sini: ketoprak dan teh botol. Maaf kalau fotonya jelek, maklum, diambilnya cuma pake kamera handphone. Waktu itu Marty sudah kelaperan abis, dan minta dibelikan ketoprak di taman ini.